Perpustakaan AMIK Boekittinggi

  • Beranda
  • jurnal
  • Berita
  • Bantuan
  • Pustakawan
  • Masuk
  • Area Anggota
  • Pilih Bahasa :
    Bahasa Arab Bahasa Bengal Bahasa Brazil Portugis Bahasa Inggris Bahasa Spanyol Bahasa Jerman Bahasa Indonesia Bahasa Jepang Bahasa Melayu Bahasa Persia Bahasa Rusia Bahasa Thailand Bahasa Turki Bahasa Urdu

Pencarian berdasarkan :

SEMUA Pengarang Subjek ISBN/ISSN Pencarian Spesifik

Pencarian terakhir:

{{tmpObj[k].text}}

Menumbuhkan Gerakan Literasi


Artikel ini berawal dari kenyataan terkait dengan masih rendahnya budaya literasi kita. Padahal, terhitung sejak tahun 2016 sudah 6 tahun Gerakan Literasi Nasional (GLN) kita dicanangkan. Faktanya, hasil berbagai studi pada rentang waktu itu tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Sebelum GLN dicanangkan, Indonesia sudah masuk sebagai anggota PISA. Pada 2012 peringkat Indonesia di PISA berada di urutan ke-60 dari 64 negara. Kemampuan siswa Indonesia pada literasi membaca saat itu sangat rendah. Dikatakan bahwa karena PISA hanya digunakan untuk mengukur kompetensi siswa yang berumur 15 tahun.

Dengan posisi seperti itu, peringkat ke-60 dari 64 negara, siswa kita justru mendapat predikat sebagai siswa paling bahagia di dunia. Karena itu, Pisani (2013) menyebut bahwa siswa Indonesia adalah siswa yang bodoh, tetapi bahagia. Dalam studi PISA pada periode berikutnya (2015), hasil perolehan siswa kita juga tidak menunjukkan tanda-tanda peningkatan. Bahkan, pada ranah literasi perolehan poin siswa kita justru sangat meresahkan. Sebagian besar berada pada level kurang dari 1 (level paling buruk).

Menurut OECD, pada level tersebut berarti siswa hanya mampu membaca teks singkat tentang topik yang sudah akrab. Lalu, mengapa semangat literasi kita rendah? Barangkali karena minimnya buku. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (2015), penerbit Indonesia rata-rata hanya menerbitkan 30.000 judul buku. Sekilas jumlah terbitan judul buku itu memang sudah sangat banyak sehingga kita termasuk literat. Namun, menurut International Publisher Association, sehat tidaknya keterbacaan dapat dilihat dengan membandingkan jumlah buku per sejuta penduduk.

Menurut BPS (2015), penduduk kita saat ini berjumlah 255.461.700 jiwa. Artinya, indeks keterbacaan kita adalah 8 judul buku per sejuta jiwa. Angka itu jauh dari Thailand (168), bahkan dari Kenya (11). Karena itu, studi dari Unesco yang menyebut indeks membaca kita hanya 0,001 adalah benar adanya. Dari 1.000 masyarakat Indonesia, hanya 1 orang yang membaca. Hal itu makin terbuktikan oleh studi The World’s Most Literate Nations (WMLN) 2016 bahwa kita menempati urutan ke-60 dari 61 negara.

Dengan melihat ketertinggalan itu, pemerintah membuat gerakan literasi. Namun, gerakan literasi itu cenderung gagal. Padahal, program literasi sudah dijalankan oleh beberapa kementerian dan lembaga. Sebagaimana disitir E. Aminuddin Aziz (2021) dalam “Peta Jalan Literasi Baru”, gerakan literasi tidak hanya ada di Kemendikbudristek, tetapi juga di Kemenkominfo, Kemendes, Kemendagri, dan Perpusnas. Sayangnya, lanjut Aziz, program bersama tersebut justru tidak dikerjakan secara bersama-sama dengan mengacu pada cetak biru yang sama.

Setelah GLN digalakkan, nilai literasi justru terkesan menurun. Hal itu terlihat dari skor literasi pada 2015 yang menyentuh angka 397, lalu menurun menjadi 371 pada 2018. Perolehan Indonesia pada literasi di PISA pada 2018 (371) jauh di bawah rata-rata perolehan dunia, yaitu 487. Artinya, ada kecenderungan bahwa setelah GLN digalakkan yang tentu tidak menghabiskan sedikit biaya, justru menghasilkan kemunduran. Walau demikian, program GLN bukan program “makan cabai”, yakni sesaat setelah dimakan langsung terasa pedasnya.

Gerakan literasi membutuhkan waktu yang relatif lama. Namun, pelan-pelan pasti akan terlihat dampaknya. Menurut E. Aminuddin Aziz, negara-negara maju, seperti Finlandia, Inggris, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Singapura baru melihat hasil investasi program literasi mereka setelah lebih dari 10 tahun melakukan perbaikan secara terus-menerus di hulu dan bergerak perlahan, tetapi pasti menuju hilirnya (Media Indonesia, 4-5-2021). Hal yang sama juga sebenarnya sudah dibuktikan dalam penelitian David Mc Clelland terkait dengan perbandingan kemajuan Spanyol dan Inggris pada abad ke-16.

David Mc Clelland adalah seorang psikolog sosial asal Amerika yang tertarik pada masalah pembangunan. Dia mempertanyakan mengapa ada bangsa tertentu yang rakyatnya bekerja keras untuk maju, sedangkan bangsa lain tidak. Dia kemudian memilih membandingkan Spanyol dan Inggris karena pada abad ke-16 keduanya adalah negara raksasa. Namun, kemudian Inggris menjadi negara yang makin besar, tetapi Spanyol cenderung mengalami penurunan. Mengapa terjadi hal yang berseberangan semacam itu, yakni peningkatan di Inggris dan penurunan di Spanyol?

Dalam bukunya yang berjudul Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Arief Budiman mengisahkan hasil penelitian David Mc Clelland bahwa faktor penentu dan pembeda antara Spanyol dan Inggris terletak pada muatan buku. Pasalnya, dongeng dan cerita anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 itu mengandung, mengutip bahasa Agus M. Irkham (Tempo, 2-9-2014), semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit “butuh berprestasi”. Sementara itu, cerita anak dan dongeng yang ada di Spanyol didominasi oleh cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati dan cenderung meninabobokan.

Dengan melihat kenyataan itu (tidak hanya jumlah buku, tetapi lebih penting juga isinya), pantas saja kalau negara kita makin tertinggal dalam hal prestasi. Penyebabnya adalah jangankan kualitas buku yang membuat “virus-prestasi”, jumlah buku kita saja masih sangat minim seperti dikutip di atas. Karena itu, gerakan literasi harus diseriusi sehingga kita tidak bisa mundur meski saat ini cenderung gagal. Seperti dikutip sebelumnya, hasil GLN tidak seperti memakan cabai. Diperlukan waktu untuk melihat hasilnya, bahkan hingga berpuluh-puluh tahun.

Berdasarkan penelitian David Mc Clelland, perubahan mental di Spanyol dan di Inggris setidaknya membutuhkan waktu selama 25 tahun. Memang ada yang memerlukan waktu yang relatif singkat. Jepang, misalnya, hanya memerlukan waktu 8 tahun untuk mengubah mental pemain sepak bolanya. Pada 2002 Jepang sudah dipercaya menjadi tuan rumah Piala Dunia. Padahal, komik andalan mereka yang mengubah mental anak mudanya tentang sepak bola yang berjudul Captain Tsubasa baru terbit pertama kalinya pada tahun 1994. Artinya, cepat atau lambat, kita akan memanen hasil kerja keras kita melalui GLN.

Kalimat puitis dari sastrawan kenamaan kita, Joko Pinurbo, berbunyi, “Jika masa kecilmu kau habiskan dengan membaca, niscaya kepalamu akan bermandikan kata-kata.” Sampai di titik ini, berkaca pada pengalaman Inggris dan Spanyol seperti dikutip di atas, saya meyakini bahwa GLN tidak bisa lagi mengejar kuantitas, tetapi kualitas atau bobot dari buku yang akan dibaca. Dengan cakupan yang lebih luas, ternyata David Mc Clelland juga mengumpulkan 1.300 cerita anak dari banyak negara sejak era 1925 hingga 1950.

Dari penelitian itu, David Mc Clelland meyakini bahwa cerita anak yang mengandung “hasrat untuk berprestasi” yang tinggi pada suatu negeri akan diikuti pula dengan pertumbuhan negeri tersebut. Kita dengan GLN hanya tinggal menunggu sembari memperbaiki kualitas bacaan. Namun, di samping memperbaiki kualitas bacaan, ternyata kita juga harus memperbaiki kualitas pendampingan pada saat gerakan literasi dicanangkan. Dengan berkaca dari hasil PISA terbaru, kualitas pendampingan juga sangat menentukan hasil dari gerakan literasi tersebut.

Dilansir dari kemdikbud.go.id, siswa yang dilibatkan oleh guru atau orang tua dalam pelajaran membaca memiliki skor 30 poin lebih tinggi daripada siswa yang sama sekali tidak dilibatkan oleh orang tua atau guru. Senada dengan itu, siswa yang menghabiskan lebih banyak waktu dalam seminggu untuk membaca sebagai hiburan pada waktu luangnya juga skornya meningkat hingga 50 poin. Yang lebih menarik, ada kecenderungan bahwa kualitas keterbacaan siswa juga tidak selalu ditentukan oleh status ekonomi.

Dilansir dari laman yang sama, dengan latar belakang sosial ekonomi yang sama, ketika diajar dan didampingi oleh guru yang memanfaatkan TIK, skor perolehan siswa juga akan meningkat sebanyak 40 poin. Dari kenyataan itu sudah jelas bahwa untuk meningkatkan kualitas gerakan literasi ini, yang sangat mendesak untuk diperhatikan adalah kualitas pendampingan dari guru pengampu di sekolah. Dengan demikian, dalam artikel ini penulis berfokus untuk memberikan pemikiran tentang bagaimana meningkatkan GLN di sekolah.

Perpustakaan AMIK Boekittinggi
  • Informasi
  • Layanan
  • Pustakawan
  • Area Anggota

Tentang Kami

As a complete Library Management System, SLiMS (Senayan Library Management System) has many features that will help libraries and librarians to do their job easily and quickly. Follow this link to show some features provided by SLiMS.

Cari

masukkan satu atau lebih kata kunci dari judul, pengarang, atau subjek

Donasi untuk SLiMS Kontribusi untuk SLiMS?

© 2025 — Senayan Developer Community

Ditenagai oleh SLiMS
Pilih subjek yang menarik bagi Anda
  • Karya Umum
  • Filsafat
  • Agama
  • Ilmu-ilmu Sosial
  • Bahasa
  • Ilmu-ilmu Murni
  • Ilmu-ilmu Terapan
  • Kesenian, Hiburan, dan Olahraga
  • Kesusastraan
  • Geografi dan Sejarah
Icons made by Freepik from www.flaticon.com
Pencarian Spesifik
Kemana ingin Anda bagikan?